Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mencatatkan data total outstanding utang komunitas Nusantara pada layanan paylater mencapai Mata Uang Rupiah 30,36 triliun per November 2024. Angka ini lebih lanjut tinggi dari outstanding utang bulan sebelumnya, yakni Simbol Rupiah 29,66 triliun.
Sementara itu, data Pefindo Biro Kredit (IdScore) menggambarkan, sarana Pay Later berbagai digunakan untuk pembelian produk-produk sekunder, yaitu sebesar 41,9%, seperti operasi menggunakan QRIS dan juga lainnya. Kemudian, pembelian pada e-commerce sebesar 33%, pembelian tiket untuk bepergian sebesar 21,1% dan juga 4% untuk pembelian secara langsung dalam toko.
“Saat ini kemungkinan besar keperluan pay later adalah untuk keinginan sekunder atau untuk gaya hidup saja,” ungkap Direktur Utama IdScore Tan Glant Saputrahadi di media gathering dalam Jakarta, kamis, (17/1/2025).
Direktur Perekonomian Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda melihat, prasarana pay later merupakan cara yang dimaksud paling enteng bagi rakyat untuk mendapatkan pembiayaan. Pasalnya, mereka itu masih butuh pembiayaan untuk membeli barang ke sedang keadaan dunia usaha yang tersebut sulit.
“Mereka tiada punya uang, untuk memenuhi keinginan ataupun gaya hidup. BNPL bermetamorfosis menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat,” ungkap Nailul Huda untuk CNBC Indonesia, Jumat, (16/1/2025).
Selain kemudahan pengajuannya secara digital, BNPL dinilai membantu para generasi muda Tanah Air yang dimaksud ketika ini sejumlah mengemban beban finansial dari pemukim tuanya alias sandwich generation.
“Generasi muda kita juga sejumlah yang mana sandwich generation di dalam mana mereka mau pinjam ke keluarga juga bukan mungkin. Pilihannya ya melalui teknologi, salah satunya BNPL. Selain itu, bagi komunitas unbanked lalu underbanked, mereka sulit mengakses perbankan,” terangnya.
Namun demikian, Huda mengamati terdapat prospek gagal bayar yang mana naik seiring dengan pola konsumsi seperti ini. Selain itu, dampak negatif lainnya adalah perpindahan alokasi pengeluaran untuk sektor tertentu untuk membayar bunga dari BNPL.
Untuk diketahui, kredit macet atau non performing loan pada BNPL pada November 2025 tercatat sebesar 3,21%. Meski demikian, hitungan ini telah terjadi turun dari titik tertingginya 6,66% di bulan September 2023,
Sebagaimana diketahui daya beli rakyat berubah jadi pembahasan hangat sejak pertengahan tahun 2024. Sejumlah indikator menunjukkan daya beli rakyat melandai.
Berdasarkan catatan kelompok riset CNBC Indonesia, di dalam antaranya adalah deflasi selama lima bulan beruntun (Mei-September 2024), anjloknya perdagangan mobil, fenomena makan tabungan, berkurangnya tabungan di masyarakat, anjloknya kelas menengah, hingga transaksi jual beli ritel untuk beberapa sektor yang digunakan ambruk.
Melemahnya daya beli bahkan mengambil bagian menyeret aktivitas manufaktur Indonesi PMI Proses Produksi ke jurang koreksi. Skala PMI Industri Manufaktur terkoreksi selama lima bulan beruntun (Juli-November 2024).
Next Article Gen Z dan juga Milenial Nunggak Kredit Macet Paylater Mata Uang Rupiah 990 Miliar
Artikel ini disadur dari Tanda Ekonomi Warga RI Lagi Sulit, Terlihat dari Paylater