Jakarta – Bank Nusantara (BI) secara mengejutkan telah dilakukan memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan atau BI Rate berubah menjadi 5,75%. Pengurus BI Perry Warjiyo menyatakan bahwa langkah itu akan berdampak positif terhadap likuiditas yang digunakan berada dalam bermetamorfosis menjadi isu bagi lapangan usaha perbankan sejak tahun lalu.
Namun, nampaknya, fenomena rebutan dana antara pemerintah lalu perbankan masih akan berlanjut. Sebab, beberapa jumlah instrumen negara masih menawarkan imbal hasil (yield) yang dimaksud tambahan tinggi. Seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang dimaksud suku bunganya mencapai 7,23%.
Sementara itu, suku bunga lingkungan ekonomi uang antar bank juga sudah ada lebih besar besar di dalam menghadapi BI Rate. Lantas, lapangan usaha perbankan masih harus menghadapi biaya pendanaan atau cost of fund yang tinggi.
Senior Vice President Lembaga Pengembangunan Lembaga Keuangan Tanah Air (LPPI) Trioksa Siahaan mengungkapkan fenomena rebutan dana antara pemerintah juga perbankan bukan bisa saja dihindari.
“Iya nggak bisa jadi dihindari, akibat tahun ini, ada Rp800 triliun utang pemerintah yang mana akan jatuh tempo,” kata ia ketika dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (16/1/2025).
Maka demikian, Trioksa mengutarakan bank wajib menahan bunga simpanan sementara waktu, agar para klien bukan mengalikan simpanannya ke instrumen lain.
“Untuk menyimpan likuiditas nampaknya itu yang dimaksud akan ditempuh bank,” ujar Trioksa terkait kemungkinan tren cost of fund bank tetap tinggi.
Menurutnya, penurunan BI Rate lebih lanjut membantu bank di memberikan kelonggaran untuk menurunkan suku bunga kredit. Lantas, kualitas dan juga ekspansi kredit bank diharapkan dapat membaik.
Sementara itu, pengamat perbankan Paul Sutaryono menyampaikan penurunan BI Rate berubah menjadi “menjadi kado istimewa bagi sektor perbankan nasional pada tahun baru 2025.” Ia membenarkan bahwa tindakan itu akan membantu di mengempiskan tekanan likuiditas perbankan.
“Penurunan itu akan mengupayakan biaya dana (cost of fund) perbankan menipis. Dengan demikian, sekali lagi hal itu akan mengempiskan tekanan likuiditas perbankan,” kata Paul pada waktu dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (16/1/2025).
Ia kemudian menyorot bahwa likuiditas sektor perbankan tampak memadai. Itu tercermin dari rasio alat likuid/non core deposit (AL/NCD) 112,94% per November 2024 sangat dalam menghadapi ambang batas 50% dan juga rasio alat likuid/dana pihak ketiga (AL/DPK) 25,57% ke berhadapan dengan ambang batas 10%.
Namun, menurut Paul, itu adalah rata-rata rasio likuiditas perbankan. Artinya, kemungkinan besar terdapat kelompok bank yang tersebut mengalami peluang risiko likuiditas.
“Apakah itu sudah ada cukup? Belum. BI masih perlu menurunkan giro wajib minimum (GWM),” imbuh Paul.
Ia menambahkan, dalam sisi lain, bank pun wajib mengerek tingkat efisiensi yang dimaksud tampak pada rasio biaya operasional/pendapatan operasional (BOPO) yang dimaksud saat ini mencapai 79,12% per Oktober 2024. Rasio itu sudah ada mendekati batas 70-80%, menunjukkan bahwa biaya operasional bank semakin tinggi.
Next Article Video: Prabowo Gantikan Jokowi, Kemana Arah Penyaluran Kredit Bank?
Artikel ini disadur dari Penurunan BI Rate Belum Cukup Untuk Bantu Likuiditas Perbankan