DKI Jakarta – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Tanah Air Mohammad Faisal merekomendasikan penundaan terhadap kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Angka (PPN) berubah menjadi 12 persen pada 2025, guna mencapai target perkembangan dunia usaha yang dimaksud tambahan tinggi.
"Ditunda mestinya, jadi it's not a good timing. Itu kalau kita berbicara hambatan mengatasi kesenjangan kegiatan ekonomi pada ketika sekarang, juga juga target pertumbuhan ekonomi, lantaran target peningkatan ekonominya mau tambahan lebih tinggi kan," ujar Faisal di Jakarta, Selasa.
Faisal menjelaskan hasil barang jadi seperti elektronik, perlengkapan rumah tangga, furnitur akan mengalami penurunan pembelian pada waktu dikenakan PPN 12 persen.
Barang-barang tersebut, kata Faisal, lebih lanjut sejumlah dikonsumsi oleh komunitas dari kelas menengah, yang tersebut total nilai konsumsinya mencapai 84 persen.
Menurutnya, yang mana harus dilaksanakan pemerintah ketika ini adalah mempertahankan agar nilai konsumsi kelas menengah tetap berada pada bilangan bulat yang disebutkan atau lebih tinggi naik.
"Sekarang bagaimana pertumbuhan sektor ekonomi bisa saja tercapai lebih banyak membesar kalau konsumsi rumah tangganya itu justru lebih besar lambat lalu 84 persen dari konsumsi domestiknya itu tadi disumbangkan oleh kelas menengah kemudian aspiring middle class (calon kelas menengah) gitu," katanya.
Namun demikian, Faisal menegaskan bahwa penurunan daya beli atau perlambatan pertumbuhan konsumsi penduduk tidak ada cuma disebabkan oleh kenaikan PPN, tetapi juga adanya hasil kumulatif dari kebijakan lainnya.
"Jadi kalau BPJS kesehatan juga naik, subsidi energi juga dipangkas pada pada waktu yang tersebut sebanding tuh bersamaan. Nah itu yang dimaksud efeknya jadi lebih besar besar," ucap Faisal.
Artikel ini disadur dari Pengamat usulkan PPN 12 persen ditunda untuk capai target pertumbuhan