OJK: Berbagai kebijakan relaksasi pada sektor perumahan telah diaktivasi

OJK: Berbagai kebijakan relaksasi pada sektor perumahan telah lama diaktivasi

DKI Jakarta – Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyampaikan beragam kebijakan relaksasi di dalam sektor perumahan sudah pernah diaktivasi oleh OJK sebagai bentuk dukungan kegiatan tiga jt rumah.

"Kami komunikasikan sudah diaktivasi bermacam kebijakan relaksasi pada sektor perumahan seperti kualitas KPR yang digunakan dapat dinilai semata-mata berdasarkan ketepatan pembayaran," kata Mahendra di konferensi pers secara daring pada Jakarta, Selasa.

Mahendra merinci sebagian kebijakan tersebut, salah satunya kualitas kredit kepemilikan rumah (KPR) dapat dinilai cuma berdasarkan ketepatan pembayaran sesuai dengan Peraturan OJK (POJK) No.40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Standard Aset Bank Umum.

Penetapan kualitas aset produktif untuk debitur dengan plafon sampai dengan Rp5 miliar dapat dilaksanakan semata-mata berdasarkan ketepatan pembayaran pokok atau bunga yang dimaksud dikenal dengan istilah satu pilar, yang mana juga dapat diberlakukan untuk KPR.

"Pemanfaatan dari POJK 40 Tahun 2019 ini, maka pemberian (plafon) untuk debitur sampai Rp5 miliar dapat cuma menggunakan satu pilar saja," kata dia.

Perlakuan penilaian kualitas aset yang disebutkan bersifat lebih banyak longgar dibandingkan kredit lainnya pada mana bank memandang dengan tiga pilar antara lain prospek usaha, kinerja debitur, serta kemampuan membayar.

Kebijakan lainnya, KPR dapat dikenakan bobot risiko yang tersebut rendah dan juga ditetapkan secara granular di penghitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit atau ATMR kredit.

Hal ini sesuai dengan SEOJK Nomor 24 Tahun 2021 tentang Perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar bagi Bank Umum.

Kredit untuk properti rumah tinggal dapat dikenakan dengan bobot risiko ATMR kredit yang rendah dibandingkan kredit lainnya, antara lain kredit untuk korporasi.

Dalam ketentuan itu, bobot risiko ditetapkan secara granular dengan bobot rendah sebesar 20 persen berdasarkan loan to value (LTV).

Adapun LTV di konteks ATMR kredit dihitung pada setiap tempat akhir bulan berdasarkan nilai tercatat kredit dibandingkan nilai agunan properti. Sehingga dengan adanya pembayaran cicilan kredit kemudian semakin mendekati jatuh tempo, akan terbentuk penurunan LTV yang digunakan disertai dengan penurunan bobot ATMR kredit.

"Dengan begitu, perbankan mempunyai ruang permodalan yang tambahan besar untuk menyalurkan KPR selanjutnya," kata Mahendra.

Kemudian, kebijakan lain yaitu untuk membantu sisi pendanaan terhadap pengembang perumahan. Mahendra mengutarakan bahwa larangan pemberian kredit pengadaan atau pengolahan tanah sudah dicabut sejak 1 Januari 2023.

"OJK telah dilakukan memberikan keleluasaan bagi pengembang perumahan untuk memperoleh pembiayaan dari perbankan guna melakukan pengadaan atau pengolahan tanah yang dimaksud sebelumnya dilarang. Dengan dicabutnya larangan itu, bank diimbau agar lebih besar menekankan pada penerapan manajemen risiko yang baik," kata Mahendra.

Selanjutnya, OJK bersatu stakeholder terkait akan mendiskusikan mengenai dukungan likuiditas bagi pembiayaan kegiatan tiga jt rumah mengingat besarnya permintaan dana yang digunakan dibutuhkan untuk kegiatan dimaksud, antara lain penyempurnaan skema Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA SP) di dalam bursa modal.

"Dengan bervariasi dukungan kebijakan itu, maka kami optimis inisiatif pemerintah untuk menyediakan tiga jt hunian hunian bagi masyarakat berpendapatan rendah dapat terlaksana dengan baik," kata Mahendra.

Artikel ini disadur dari OJK: Berbagai kebijakan relaksasi di sektor perumahan sudah diaktivasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *