Mengoptimalkan prospek pajak dari underground economy pada Indonesi

Mengoptimalkan prospek pajak dari underground economy pada Indonesi

DKI Jakarta – Underground economy atau sektor ekonomi bawah tanah merupakan bagian dari aktivitas dunia usaha yang mana tidaklah tercatat secara resmi pada sistem statistik nasional, baik oleh sebab itu sengaja disembunyikan untuk menyavoid pajak kemudian regulasi, maupun akibat bersifat informal.

Fenomena ini telah dilakukan bermetamorfosis menjadi tantangan besar bagi otoritas fiskal ke berbagai negara, satu di antaranya Indonesia.

Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF), ukuran sektor ekonomi bawah tanah dalam negara-negara berprogres dapat mencapai 30-60 persen dari PDB, sedangkan pada Indonesia, estimasinya berkisar antara 22-30 persen dari Ekonomi Nasional (Schneider, 2015).

Ekonomi bawah tanah mencakup bervariasi aktivitas seperti perdagangan informal, usaha tanpa izin, penghindaran pajak, hingga aktivitas ilegal. Konsekuensi utamanya terhadap penerimaan negara sangat signifikan, mengingat kemungkinan pajak yang hilang akibat aktivitas ini.

Menurut data, nilai proses kegiatan ekonomi bawah tanah di Negara Indonesia diperkirakan mencapai banyak triliun rupiah per tahun.

Namun, tantangan utama pada memajaki sektor ini adalah sifat aktivitasnya yang sulit diidentifikasi, teristimewa untuk aktivitas ilegal. Selain itu, sektor informal kerap kali disebut sebagai hard-to-tax sector oleh sebab itu biayanya membesar untuk administrasi lalu pengawasan dibandingkan peluang penerimaan yang tersebut dihasilkan.

Untuk itu dibutuhkan respon kebijakan secara komprehensif untuk menyebabkan underground economy di dalam Tanah Air menyumbangkan prospek pajak yang besar dengan berubah-ubah kompleksitas permasalahan lalu dimensi tantangan yang dimaksud dihadapi.

Menurut Schneider serta Enste (2000), aktivitas perekonomian bawa tanah umumnya didorong oleh empat faktor utama: beban pajak yang tinggi, kompleksitas regulasi, rendahnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah, serta kesenjangan di penegakan hukum

Dalam Teori Perekonomian Institusional, dinyatakan bahwa kualitas institusi seperti hukum, kebijakan pajak, lalu penegakan aturan sangat menentukan tingkat kegiatan ekonomi informal. Menurut North (1990), negara dengan institusi yang mana lemah cenderung memiliki tingkat sektor ekonomi bawah tanah yang dimaksud lebih banyak tinggi.

Hasil penelitian Allingham serta Sandmo (1972) tentang perilaku penghindaran pajak menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pajak bergantung pada tingkat deteksi, sanksi hukum, juga beban pajak.

Di lain pihak, Teori Keadilan Pajak menyebutkan bahwa keadilan pajak yang digunakan buruk dapat meningkatkan insentif individu untuk beralih ke dunia usaha informal. Richard Musgrave (1959) berargumen bahwa sistem pajak harus mencerminkan prinsip keadilan vertikal lalu horizontal untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Belajar dari pengalaman negara lain, kebijakan terpadu yang dimaksud menggabungkan insentif fiskal, reformasi regulasi, serta penegakan hukum yang dimaksud kuat terbukti mampu menekan ekonomi bawah tanah.

Sebagai contoh, Brazil menerapkan inisiatif Simples Nacional yang tersebut memberikan tarif pajak yang mana lebih lanjut rendah juga mudah untuk usaha kecil, lalu hasilnya secara signifikan meningkatkan formalitas bisnis kecil pada negara tersebut.

Selanjutnya India meluncurkan kebijakan Goods and Services Tax (GST) untuk memperluas basis pajak serta hasil Penerapan GST dimana di dalam dalamnya direalisasikan juga pemanfaatan teknologi big data telah terjadi berhasil meningkatkan pendapatan pajak hingga 15 persen pada tahun pertama peluncurannya.

Sementara Swedia memberikan insentif pajak untuk pekerjaan rumah tangga guna menurunkan perekonomian bawah tanah di dalam sektor tersebut.

Dampak terhadap perpajakan

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, sektor informal ke Negara Indonesia menyumbang sekitar 60 persen tenaga kerja Indonesia. Dengan kontribusi signifikan ini, peluang pajak yang mana hilang sangat besar.

Dalam penelitian Bank Global (2019), diperkirakan bahwa hilangnya penerimaan pajak akibat dunia usaha bawah tanah di dalam Indonesia mencapai sekitar 5-7 persen dari Pendapatan Domestik Bruto per tahun. Hal ini ditengarai akibat faktor-faktor pemicu yang tersebut meliputi: kompleksitas administrasi pajak serta regulasi usaha, kurangnya aksesibilitas ke layanan keuangan formal, rendahnya kesadaran lalu literasi pajak, kemudian ketidakpercayaan warga terhadap alokasi anggaran negara.

Hal yang dimaksud sejalan juga dengan hasil studi yang mana dikerjakan oleh Kementerian Keuangan yang dimaksud menunjukkan bahwa sektor perniagaan mikro, kecil, lalu menengah (UMKM) menyumbang sekitar 60 persen PDB, namun tingkat kepatuhan pajaknya semata-mata sekitar 12 persen. Hal ini menunjukkan perlunya kebijakan yang tersebut lebih tinggi inklusif untuk sektor ini.

Untuk mengoptimalkan kemungkinan pajak dari kegiatan ekonomi bawah tanah ini, ada beberapa kajian policy response yang dimaksud direkomendasikan.

Pertama, reformasi kebijakan pajak. Hal ini dilaksanakan dengan memulai pembangunan Sistem Pajak yang Progresif serta Sederhana, yaitu menyederhanakan pajak bagi sektor informal, seperti kegiatan Simples Nacional di dalam Brazil, dapat meningkatkan partisipasi sektor informal ke di sistem formal. Kemudian, menggalakkan insentif bagi formalisasi usaha, antara lain melalui pemberian insentif fiskal, seperti pengurangan pajak atau subsidi bagi bidang usaha yang mendaftarkan diri secara resmi, dapat menjadi langkah strategis. Serta terus menerapkan kebijakan Digitalisasi Sistem Pajak, salah satunya dengan pendekatan penerapan teknologi seperti e-filing serta integrasi data dapat meningkatkan transparansi serta efisiensi pada administrasi pajak.

Kedua, penegakan hukum lalu regulasi, yang tersebut dilaksanakan dengan meningkatkan pengawasan, di dalam mana keberhasilan pengawasan ini akan lebih tinggi optimal apabila menggunakan ekologi big data untuk mendeteksi penghindaran pajak, seperti yang tersebut dikerjakan oleh India dengan GST Network.

Kemudian menerapkan sanksi yang tersebut efektif serta proporsional, dalam hal ini tentunya dengan memberikan sanksi yang dimaksud bersifat mendidik, seperti kewajiban mengikuti pelatihan literasi pajak bagi pelanggar pajak kecil.

Ketiga, edukasi juga literasi pajak dengan memacu kampanye nasional secara masif
edukasi pajak melalui media sosial lalu komunitas lokal untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Selain itu juga berkolaborasi juga meningkatkan kerja mirip lembaga keuangan, khususnya guna mengupayakan inklusi keuangan untuk sektor informal agar lebih besar sederhana terhubung dengan sistem pajak formal.

Keempat, dukungan infrastruktur dengan memperluas akses terhadap teknologi informasi melalui perluasan infrastruktur teknologi ke area terpencil untuk membantu digitalisasi layanan perpajakan, juga menyediakan layanan pendampingan melalui pemberian bimbingan teknis bagi UMKM yang mana ingin beralih ke sektor formal.

Underground economy pada Indonesia merupakan tantangan sekaligus prospek untuk meningkatkan penerimaan pajak. Kebijakan yang digunakan efektif memerlukan pendekatan multidimensi, termasuk penyederhanaan sistem pajak, digitalisasi, kemudian peningkatan edukasi pajak.

Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa reformasi yang terencana juga didukung teknologi dapat memberikan dampak positif yang dimaksud signifikan.

Untuk Indonesia, fokus utama harus mencakup upaya meningkatkan literasi pajak melalui kampanye edukasi masif, menyederhanakan prosedur administrasi pajak untuk sektor informal, juga meningkatkan transparansi dan juga penegakan hukum yang berbasis teknologi.

*) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si adalah Kepala Kantor Pengolahan Informasi kemudian Dokumen Perpajakan Jambi

Artikel ini disadur dari Mengoptimalkan potensi pajak dari underground economy di Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *