Jakarta, CNBC Indonesia – Pasca pandemi Virus Corona melanda dunia, tantangan ekonomi global bermetamorfosis menjadi tidaklah mudah. Harga komoditas naik tajam di berada dalam produksi yang mana sangat terbatas. Kesulitan yang disebutkan diperparah dengan konflik Rusia Vs. tanah Ukraina kemudian tanah Israel Vs. Palestina pada Gaza. Bumi belum bergeliat, namun lonjakan naiknya harga berubah menjadi penghambat peningkatan ekonomi global. Namun putaran baru eskalasi dunia pada 2025 mulai memulai dinamika.
Setelah dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan beberapa terobosan pada hal kebijakan, termasuk menginisiasi gencatan senjata di Gaza. Gencatan senjata yang dimaksud disambut dengan optimisme oleh berbagai pihak, akibat dianggap dapat meredakan ketegangan geopolitik sekaligus memberikan harapan bagi perbaikan situasi dunia usaha global.
Di berada dalam harapan terhadap kebijakan global yang digunakan tambahan stabil, Ekonom Center of Macroeconomics & Finance INDEF, Abdul Manap Pulungan memandang gencatan senjata memang benar dapat sedikit meredakan, namun itu belum cukup untuk memulihkan kegiatan ekonomi bumi yang dimaksud masih rapuh. Apalagi ketika ini prospek ekonomi global masih belum membaik. IMF memproyeksikan pertumbuhan perekonomian 2025 mencapai 3,3%. Sementara untuk Negeri Paman Sam dan juga China diproyeksikan melambat menjadi 2,7% lalu 4,6%.
“Gencatan senjata sedikit mendinginkan gejolak kegiatan ekonomi global. Namun pasca pandemi terdapat persoalan kronis pada sektor ketenagakerjaan serta investasi, apalagi pengangguran bumi sangat tinggi, lalu pembangunan ekonomi sekarang dihadapkan pada tingginya suku bunga kredit. Terlebih IMF memprediksi berikutnya lintas perdagangan bumi mungkin saja akan melambat bermetamorfosis menjadi 3,2% pada 2025,” ujarnya, seperti diambil Mulai Pekan (27/1/2025)
Abdul mengkaji gejolak geopolitik global dinilai masih berubah menjadi tantangan besar bagi perekonomian dunia. Ketegangan yang digunakan terbentuk antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, Rusia, juga Uni Eropa, ditambah dengan konflik-konflik lain seperti Taiwan-China juga Korea Selatan-Korea Utara, dapat semakin memperburuk ketidakpastian global. “Kondisi ini dapat menyebabkan ketidakpastian global semakin tinggi,” katanya.
Di sedang situasi dunia usaha seperti ini, Abdul menganalisis sektor perekonomian yang tersebut diuntungkan. “Pertama, sektor yang mana connect segera dengan perekonomian global seperti pertanian juga komoditas. Kedua, sektor dunia usaha hijau,” katanya. Untuk itu, ia menilai, Indonesia diperlukan memanfaatkan peluang sektor-sektor yang dimaksud di berada dalam progres proses lanjut yang dimaksud telah lama direalisasikan agar mendapatkan nilai tambah yang lebih lanjut optimal.
Di sisi lain, Co-founder Tumbuh Makna (TMB), Benny Sufami memiliki pandangan yang tersebut lebih lanjut mendalam pada sektor domestik. Menurutnya, pada situasi seperti ini, kesempatan aset pada sektor saham juga obligasi jangka waktu menengah juga panjang dapat menghadirkan angin segar bagi investor. “Saat ini terindikasi mengalami perbaikan ke awal tahun, meskipun baru tahap awal, tapi mampu dibilang pada waktu ini bermetamorfosis menjadi awal yang tersebut baik pada tahun 2025. Apalagi didukung dengan konflik geopolitik yang tersebut mereda,” tegasnya.
Dalam pandangannya, pemodal perlu memanfaatkan peluang fluktuasi Skala Harga Saham Gabungan (IHSG), yang sempat berada dalam bawah 7.000, saat ini membuka prospek bagi penanam modal untuk meningkatkan exposure ke kelas aset tersebut. “Sebelumnya mungkin saja wait and see, namun ketika ini kita mampu mulai meningkatkan secara bertahap untuk menambah aset kelas tersebut,” ujarnya.
Terlebih lagi, menurut Benny, pemodal penting mengamati kebijakan Bank Indonesia (BI) yang tersebut menurunkan suku bunga acuan sebesar 0,25% berubah menjadi 5,75%. Ini adalah memberikan dorongan untuk ekonomi domestik. Sebab penurunan suku bunga mencerminkan kenaikan harga masih akan masih rendah. Sehingga sektor otomotif juga properti sanggup diharapkan mendapatkan kesempatan untuk bisa jadi mengalami perbaikan. “Kebijakan ini membantu bidang pembiayaan untuk kembali memacu perdagangan properti lalu kendaraan bermotor. Bidang perbankan juga diuntungkan akibat biaya pendanaan merek bermetamorfosis menjadi lebih lanjut murah,” jelas Benny.
Bahkan Benny mengawasi bahwa BI masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga ke semester II 2025. Jika hal itu terjadi, kata Benny, penurunan suku bunga diharapkan akan menggalakkan peningkatan daya beli juga konsumsi publik, yang mana dimana terdapat kemungkinan peningkatan penyaluran kredit. “Kredit akan naik, dan juga ini akan menggalakkan gairah aktivitas sektor ekonomi di dalam masyarakat tentunya,” ujar dia.
Di sektor domestik, Benny mengamati adanya kesempatan yang mana bisa saja dimanfaatkan pemodal lokal. Penurunan valuasi aset kelas saham selama tiga bulan terakhir membuka kesempatan strategis bagi pemodal domestik untuk masuk ke saham perbankan, otomotif, kemudian properti. “Dengan adanya peluang pemulihan, sektor-sektor ini juga menawarkan kesempatan untuk meningkatkan kekuatan portofolio yang mana dapat memberikan keuntungan jangka panjang,” katanya.
Namun, pada memanfaatkan kesempatan pembangunan ekonomi ini, penting bagi setiap pemodal untuk menerapkan prinsip 2L, yakni Logis juga Legal. Logis, secara sadar meyakinkan setiap tindakan didasarkan pada analisis yang rasional juga data yang dimaksud valid. Legal, terus-menerus mematuhi regulasi yang dimaksud berlaku demi mempertahankan keamanan investasi. “Dengan prinsip ini, penanam modal dapat merancang portofolio yang kokoh, berkelanjutan, juga berdaya saing,” tutupnya.
Next Article Bitcoin Cetak Rekor ATH Sentuh US$74.000
Artikel ini disadur dari Investasi Ini Bakal Moncer Pasca Pelantikan Trump dan Damai di Gaza