Ibukota – Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menafsirkan rencana pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) secara selektif berpotensi mengakibatkan kebingungan.
Berdasarkan pembahasan pemerintah dengan DPR pada Kamis (5/12/2024) kemarin, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan segera tetap diterapkan pada 1 Januari 2025.
Namun, pengenaannya bersifat selektif untuk komoditas tertentu, yang tersebut diutamakan menyasar kelompok barang mewah.
Sementara untuk barang dan juga jasa umum akan tetap menggunakan tarif 11 persen.
Menurut Bhima, pada waktu dihubungi ANTARA di dalam Jakarta, Jumat, Indonesia belum pernah menerapkan pengenaan multitarif terhadap PPN.
"Indonesia mengenal PPN satu tarif, yang mana berarti perbedaan PPN 12 persen untuk barang mewah juga PPN 11 persen untuk barang lainnya merupakan yang dimaksud pertama kali pada sejarah," kata Bhima.
Maka, pengenaan multitarif ini berpotensi mengakibatkan kebingungan banyak pihak, khususnya bagi pelaku usaha serta konsumen.
Seperti misalnya bila satu toko ritel jual objek pajak yang mana terkena tarif PPN dan juga pajak transaksi jual beli barang mewah (PPnBM), maka penjual wajib menghitung tarif yang digunakan berbeda terhadap barang-barang yang dijual.
Ketika mengurus administrasi perpajakan pun, kemungkinannya, faktur pajak akan berubah menjadi lebih tinggi kompleks.
"Hanya lantaran telah injury time jelang pelaksanaan PPN 12 persen per Januari 2025, maka aturan dibuat mengambang. Seharusnya, kalau mau memperhatikan daya beli masyarakat, terbitkan Peraturan pemerintahan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghapus Pasal 7 di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tentang PPN 12 persen. Itu solusi paling baik," ujar dia.
Dalam konferensi pers di dalam Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (5/12/2024) kemarin, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memaparkan usulan penghitungan PPN agar tak diterapkan pada satu tarif itu diusulkan oleh DPR agar nantinya barang-barang seperti keperluan pokok dikenakan pajak lebih tinggi sedikit daripada yang digunakan pada waktu ini ditetapkan.
Dia merinci hasil pertandingan DPR dengan pemerintah memutuskan permintaan pokok juga pelayanan rakyat seperti jasa kesehatan, jasa perbankan juga jasa lembaga pendidikan dipastikan tidak ada diberikan pajak 12 persen kemudian dikenakan pajak yang pada waktu ini sudah ada berjalan yaitu 11 persen.
Menteri Koordinator Sektor Perekonomian Airlangga Hartarto pun menegaskan pemerintah tak akan mengenakan PPN identik sekali untuk komoditas materi pokok juga penting seperti sarana transportasi publik, infrastruktur pendidikan, dan juga infrastruktur kesehatan.
Ketentuan barang yang bebas PPN itu tercantum juga pada Peraturan otoritas (PP) nomor 49 tahun 2022 tentang PPN Dibebaskan lalu PPN atau PPN kemudian Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tidak Dipungut melawan Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.
Menurut Airlangga, pemerintah berada dalam menyiapkan paket kebijakan perekonomian yang tersebut di dalam dalamnya mendiskusikan persoalan PPN serta ditargetkan bisa jadi rampung di waktu satu pekan ke depan.
Artikel ini disadur dari Ekonom nilai kebijakan selektif PPN berpotensi timbulkan kebingungan