DKI Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengklarifikasi perihal isu proses uang elektronik menjadi objek pajak yang tersebut dikenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen.
“Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN melawan jasa layanan uang elektronik sudah ada dijalankan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang tersebut berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukanlah objek pajak baru,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, serta Hubungan Mayarakat DJP Dwi Astuti pada waktu dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
UU PPN sudah pernah diperbarui di UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam UU HPP, layanan uang elektronik bukan diantaranya objek yang digunakan dibebaskan dari PPN. Artinya, saat PPN naik bermetamorfosis menjadi 12 persen nanti, tarif yang dimaksud juga berlaku untuk kegiatan uang elektronik.
Aturan rinci mengenai pengenaan PPN terhadap kegiatan uang elektronik, atau layanan teknologi finansial (fintech) secara umum, diatur lebih besar lanjut di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69 Tahun 2022.
Layanan yang tersebut dikenakan PPN ke antaranya uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, juga pengiriman dana.
PPN berlaku untuk biaya layanan atau komisi yang dimaksud dibebankan terhadap penyelenggara. Misalnya, biaya layanan registrasi, pengisian ulang nilai (top-up), pembayaran transaksi, pengiriman dana, lalu tarik tunai untuk uang elektronik.
Hal yang tersebut sebanding berlaku pada layanan dompet elektronik, satu di antaranya biaya pembayaran tagihan juga layanan paylater. PPN juga dikenakan pada biaya merchant discount rate (MDR).
Sementara nilai uang elektronik itu sendiri, termasuk saldo, bonus point, reward point, kemudian kegiatan transaksi dana murni, tidaklah dikenakan PPN.
Sebagai contoh, saat pengguna melakukan top-up jumlah uang elektronik kemudian dikenakan biaya administrasi, maka biaya administrasi yang disebutkan yang tersebut dikenakan PPN.
Jika biaya administrasi top-up adalah Rp1.000 serta tarif PPN yang mana berlaku pada waktu ini sebesar 11 persen, maka PPN yang dimaksud harus dibayar adalah Rp110, sehingga total biaya berubah menjadi Rp1.110.
Bila PPN naik menjadi 12 persen nantinya, maka PPN yang tersebut diperlukan dibayar sebesar Rp120, sehingga total biaya bermetamorfosis menjadi Rp1.120.
Sedangkan sewaktu pengguna semata-mata mentransfer uang atau menggunakan tersisa tanpa biaya tambahan, maka tak ada PPN yang digunakan dikenakan.
Untuk diketahui, UU HPP mengatur pembebasan PPN terhadap sebagian jasa keuangan.
Jasa ini meliputi penghimpunan dana seperti giro, tabungan, deposito, lalu sertifikat deposito, yang tersebut dikerjakan oleh bank atau lembaga keuangan.
Selain itu, kegiatan penyaluran kemudian peminjaman dana, baik melalui pemindahan elektronik, cek, maupun wesel.
Pembiayaan seperti leasing dengan hak opsi, anjak piutang, kartu kredit, serta pembiayaan konsumen juga tiada dikenakan PPN, termasuk yang dimaksud berprinsip syariah.
Layanan gadai, di antaranya gadai syariah kemudian fidusia, juga jasa penjaminan untuk melindungi kewajiban finansial, juga dikecualikan dari pajak.
Artikel ini disadur dari DJP klarifikasi soal transaksi uang elektronik kena PPN 12 persen