Jakarta, CNBC Indonesia – Daya beli rakyat berubah jadi pembahasan hangat sejak pertengahan tahun 2024. Sejumlah indikator menunjukkan daya beli masyarakat melandai.
Berdasarkan catatan kelompok riset CNBC Indonesia, di dalam antaranya adalah deflasi selama lima bulan beruntun (Mei-September 2024), anjloknya transaksi jual beli mobil, fenomena makan tabungan, berkurangnya tabungan di masyarakat, anjloknya kelas menengah, hingga pelanggan ritel untuk beberapa sektor yang dimaksud ambruk.
Melemahnya daya beli bahkan terlibat menyeret aktivitas manufaktur Indonesi PMI Pabrik ke jurang koreksi. Ukuran PMI Proses Produksi terkoreksi selama lima bulan beruntun (Juli-November 2024)
Di berada dalam keadaan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mencatatkan total outstanding utang penduduk Tanah Air pada layanan paylater mencapai Mata Uang Rupiah 30,36 triliun per November 2024. Angka ini lebih banyak tinggi dari outstanding utang bulan sebelumnya, yakni Rupiah 29,66 triliun.
Direktur Perekonomian Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda melihat, infrastruktur pay later merupakan cara yang dimaksud paling ringan bagi masyarakat untuk mendapatkan pembiayaan. Pasalnya, merekan terus butuh pembiayaan untuk membeli barang pada berada dalam kondisi kegiatan ekonomi yang mana sulit.
“Mereka bukan punya uang, untuk memenuhi keinginan ataupun gaya hidup. BNPL bermetamorfosis menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat,” ungkap Nailul Huda untuk CNBC Indonesia, dikutip Mulai Pekan (27/1/2025).
Selain kemudahan pengajuannya secara digital, BNPL dinilai membantu para generasi muda Nusantara yang digunakan pada waktu ini banyak mengemban beban finansial dari pendatang tuanya alias sandwich generation.
“Generasi muda kita juga banyak yang dimaksud sandwich generation di dalam mana dia mau pinjam ke keluarga juga tak mungkin. Pilihannya ya melalui teknologi, salah satunya BNPL. Selain itu, bagi masyarakat unbanked kemudian underbanked, merek sulit mengakses perbankan,” terangnya.
Namun demikian, Huda meninjau terdapat kemungkinan gagal bayar yang dimaksud naik seiring dengan pola konsumsi seperti ini. Selain itu, dampak negatif lainnya adalah perpindahan alokasi pengeluaran untuk sektor tertentu untuk membayar bunga dari BNPL.
Untuk diketahui, kredit macet atau non performing loan dalam BNPL pada November 2025 tercatat sebesar 3,21%. Meski demikian, nomor ini telah lama turun dari titik tertingginya 6,66% dalam bulan September 2023,
Penurunan signifikan NPL tersebut didorong oleh perbaikan kualitas portofolio kredit lalu perolehan kredit, khususnya pada sektor fintech juga dengan semakin banyaknya bank BUKU IV yang dimaksud terjun ke layanan ini.
Diketahui, dua big bank sudah ada miliki prasarana paylater, yakni PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang merilis paylater BCA pada 30 September 2023 setelah itu kemudian PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) yang tersebut telah terjadi merilis Livin’ Paylater secara terbatas. Selain itu, PT Bank CIMB Niaga Tbk. (BNGA) menyatakan akan meluncurkan paylater dalam waktu dekat.
Sementara itu, data Pefindo Biro Kredit (IdScore) menggambarkan, sarana Pay Later sejumlah digunakan untuk pembelian barang sekunder, yaitu sebesar 41,9%, seperti proses menggunakan QRIS lalu lainnya. Kemudian, pembelian di e-commerce sebesar 33%, pembelian tiket untuk bepergian sebesar 21,1% lalu 4% untuk pembelian dengan segera di dalam toko.
“Saat ini kemungkinan besar keinginan pay later adalah untuk keperluan sekunder atau untuk gaya hidup saja,” ungkap Direktur Utama IdScore Tan Glant Saputrahadi pada media gathering di dalam Jakarta, dikutip Mulai Pekan (27/1/2025).
Next Article Meski Muncul Belakangan, Ini adalah Alasan Paylater Bank Ungguli Fintech
Artikel ini disadur dari Bukti Baru Kantong Warga RI Kempes, Terlihat dari Sini