Jakarta – Selama satu puluh tahun pemerintahan Joko Widodo, utang negara Indonesia mengalami peningkatan yang dimaksud cukup signifikan. Dokumen Kerangka Kondisi Keuangan Makro dan juga Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025 (KEM-PPKF) yang mana dirilis oleh Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa rasio utang terhadap Barang Domestik Bruto (PDB) meningkat secara signifikan.
Dalam periode 2014-2019, rasio utang meningkat dengan laju moderat. Namun, sejak 2020, rasio utang melonjak tajam, akibat pembiayaan untuk penanganan pandemi Pandemi lalu pemulihan dunia usaha nasional.
Utang Terus Bertambah
Dokumen KEM-PPKF menunjukkan bahwa nilai utang negara Tanah Air meningkat dari Simbol Rupiah 3.113 triliun pada 2015 berubah menjadi Simbol Rupiah 4.800 triliun pada 2019. Lonjakan besar terjadi pada 2020, di mana nilai utang melonjak berubah jadi Mata Uang Rupiah 6.102 triliun, meningkat sebesar 27,13 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dikutip dari Majalah Tempo Edisi 28 Juli 2024, utang negara bertambah lagi bermetamorfosis menjadi Mata Uang Rupiah 7.822 triliun pada 2022. Hal ini menyebabkan rasio utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto menggelembung dari 27,42 persen pada 2014 bermetamorfosis menjadi 38,64 persen pada April 2024.
Peningkatan utang ini sebagian besar dipicu oleh permintaan pembiayaan untuk beraneka kegiatan pemerintah, satu di antaranya penanganan pandemi serta belanja infrastruktur. Menurut laporan dari Kementerian Keuangan, pada 2020, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto meningkat sejumlah 9,14 poin persen sebagai dampak dari permintaan pembiayaan besar-besaran untuk acara penanganan Virus Corona dan juga pemulihan ekonomi.
“Pada tahun 2020, rasio utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto mengalami kenaikan signifikan sebanyak-banyaknya 9,14 poin persen akibat tingginya permintaan pembiayaan yang dimaksud sangat besar untuk penanganan pandemi Virus Corona serta pemulihan kegiatan ekonomi nasional,” tulis Kementerian Keuangan di laporan tersebut.
Sementara itu, kinerja perpajakan selama sepuluhan tahun terakhir mengalami fluktuasi, dengan rasio perpajakan merosot dari 10,85 persen pada 2014 berubah menjadi 8,32 persen pada 2020, serta baru mulai naik pada periode 2021-2023 dipengaruhi oleh biaya komoditas yang mana meningkat.
Ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan bahwa hitungan yang disebutkan semata-mata mencakup utang pada bentuk Surat Berharga Negara (SBN) kemudian pinjaman luar negeri. Ia menambahkan bahwa masih ada utang-utang lainnya yang belum terhitung, seperti utang pemerintah untuk membayar pensiun dan juga utang terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang digunakan belum dilunasi.
“Utang-utang lain masih ada, misalnya utang pemerintah untuk bayar pensiun, utang ke BUMN yang digunakan belum dibayar, kalau dijumlah itu telah 45 persen dari Ekonomi Nasional (Produk Domestik Bruto),” ujar Faisal Basri ditemui di Jakarta, Jumat, 26 Juli 2024.
Menjelang Akhir Periode
Menjelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi, utang negara kemudian beban pembayaran bunga utang bermetamorfosis menjadi isu utama. Pada rapat kerja Komisi XI DPR pada Juni 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa utang jatuh tempo pada 2025 akan mencapai Rupiah 800,33 triliun, yang digunakan terdiri dari surat berharga negara (SBN) sebesar Rupiah 705,5 triliun serta pinjaman sebesar Mata Uang Rupiah 94,83 triliun.
Dalam APBN 2024, beban pembayaran bunga utang mencapai Rupiah 497,3 triliun, setara dengan 14,9 persen dari total pendapatan negara. Rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan pajak mencapai 21,54 persen.
Peningkatan utang ini sebagian besar digunakan untuk belanja persenjataan juga proyek-proyek infrastruktur. Misalnya, belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) pada 2022 dan juga 2023 per individu mencapai Mata Uang Rupiah 150,4 triliun lalu Simbol Rupiah 144,3 triliun.
Memang ada peningkatan signifikan di konstruksi infrastruktur, seperti jalan tol, moda raya terpadu (MRT), juga kereta cepat. Namun beberapa proyek mengalami kesulitan, seperti Bandar Udara Bebas Kertajati yang mana sepi penumpang lalu kereta cepat Jakarta-Bandung yang mana memerlukan tambahan anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya besar di penyelenggaraan infrastruktur, dampaknya terhadap peningkatan dunia usaha bukan setiap saat sesuai harapan.
Tantangan besar akan dihadapi oleh presiden yang tersebut akan datang, Prabowo Subianto, di mengurus utang serta defisit APBN. Penarikan utang baru bukan hanya saja untuk membayar tagihan jatuh tempo, tetapi juga untuk menangguhkan defisit anggaran juga pembiayaan non-utang.
“Perlu mitigasi, seberapa kuat (SBN) akan dibeli oleh penanam modal domestik lalu asing,” tutur Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro di diskusi pada Gedung Tempo, Jakarta, Rabu, 17 Juli 2024.
Artikel ini disadur dari 10 Tahun Pemerintahan Jokowi: Utang Negara Naik Terus